Langsung ke konten utama

Teori Konsentris

Teori Konsentris
Kota dianggap sebagai suatu obyek studi dimana di dalamnya terdapat masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami proses interrelasi antarmanusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Hasil dari hubungan itu mengakibatkan terciptanya pola keteraturan dari penggunaan lahan. E.W. Burgess (1925), merupakan orang yang pertama kali menuangkan pengamatannya ini. Menurutnya, kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian rupa dan menunjukan pola penggunaan lahan yang konsentris dimana masing-masing jenis penggunaan lahan ini dianalogikan sebagi suatu konsep “natural area”. Dari pengamatannya, suatu kota akan terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini sekaligus mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda. Dari hal ini, kemudian menyebabkan Burgess terkenal dengan teori konsentrisnnya (Concentric Theory).

                                  Gambar 1. Model Zone Konsentris Burges
Seperti terlihat pada model diatas, daerah perkotaan terdiri dari 5 zona melingkar berlapis-lapis yang terdiri dari: (1) Daerah pusat kegiatan (Central Business District); (2) zona peralihan (Transition Zone); (3) zona pemukiman pekerja (Zone of working men’s homes); (4) zona pemukiman yang lebih baik (zone of better residences); dan (5) zona para penglaju (zone of commuters). Daerah pusat kegiatan merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam suatu kota, sehingga pada zona ini terdapat bangunan utama untuk kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Zona ini dianggap oleh Burgess sebagai “teh area of dominance”.
Dalam penjelasan teori konsentris, Burgess selalu menggunakan terminologi ekologis seperti istilah dominasi, invasi dan suksesi. Proses ekologis ini oleh McKenzie diperjelas lagi dengan lebih detail. Menurutnya, proses invasi dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu: (1) “Initial Stage” (tahap permulaan); (2) “Secondary Stage” (tahap lanjutan); dan (3) “Climax Stage” (tahap klimak). Proses permulaan dari invasi ditandai oleh adanyagejala ekspansi geografis dari satu kelompok sosial yang ada dan kemudian menemui tantangan dari penduduk yang ada pada daerah yang terkena ekspasnsi. Pada tahap lanjut terjadi persaingan yang kemudian diikuti proses “Displacement” (perpindahan); “Selection” (seleksi); dan “Assimilation” (asimilasi). Kelompok-kelompok yang terpaksa kalah bersaing, akan menempati/mengadakan ekspansi ke wilayah lain yang lebih lemah dan kemudian akan diikuti oleh suksesi baru. Pada saat terakhir tersebut akan tercapai apa yang disebut tahap klimak. Proses ini terus menerus terjadi, akibatnya terlihat semakin meluasnya zona melingkar konsentris yang ada pada suatu kota. Hasil dari proses ini adalah lapisan “Natural Area” dengan keseragaman sifat-sifat.
            Ciri khas utama teori ini adalah adanya kecenderungan, dalam perkembangan tiap daerah dalam cenderung memperluas dan masuk daerah berikutnya (sebelah luarnya). Prosesnya mengikuti sebuah urutan-urutan yang dikenal sebagai rangkaian invasi (invasion succesion). Cepatnya proses ini tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi kota dan perkembangan penduduk. Sedangkan di pihak lain, jika jumlah penduduk sebuah kota besar cenderung menurun, maka daerah disebelah luar cenderung tetap sama sedangkan daerah transisi menyusut kedalam daerah pusat bisnis. Penyusutan daerah pusat bisnis ini akan menciptakan daerah kumuh komersial dan perkampungan. Sedangkan interprestasi ekonomi dari teori konsentrik menekankan bahwa semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga tanah.
 Contoh Penerapan Teori Konsentrik Di Indonesia
Jakarta
  
Jika dikaitkan antara teori konsentrik beserta zona-zona, dapat diambil salah daerah yaitu Jakarta yang memiliki kesamaan dengan teori. Konsentrik berdasarkan zona-zonanya yang ada. Berdasarkan dapat diuraikan sebagai berikut:
a)      Zona 1: Daerah Pusat Bisnis
Jika dikaitkan dengan zona 1 sebagai daerah pusat bisnis, seperti daerah Jakarta yang memiliki salah satu daerah pusat bisnis yang terkenal yaitu Mangga 2 Town Square. Dimana aktivitas ekonomi berlangsung setiap hari mulai dari pedagang kaki lima yang berjualan setiap hari di pinggir jalan daerah Mangga 2 Town Square, ada juga kios-kios dan hotel-hotel yang menyediakan jasa penginapan bagi wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
b)      Zona 2 : Daerah Transisi
Daerah transisi yang dimaksudkan adalah daerah tempat orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Misalnya saja para pengemis yang tinggal dibawah kolong jembatan sungai Ciliwung, mereka yang tinggal disana karena tidak memiliki harta benda, dan hidup mereka sangat memprihatinkan karena dilingkungan daerah sungai Ciliwung tersebut daerahnya sudah mengalami penurunan kwalitas lingkungan seperti sungainya yang dulu airnya bersih dan ikan yang ada disana masih bisa dimanfaatkan untuk dikonsumsi oleh para pengemis dan belum terkontaminasi dengan logam berat. Tetapi sekarang pada kenyataannya sungai tersebut sudah tercemar berat baik dari sampah anorganik maupun organik dan ada yang mengendap mengeluarkan bau tak sedap, serta warna airnya keruh dan ikannya sudah terkontaminasi dengan logam berat.
c)      Zona 3 : Daerah permukiman para pekerja
Misalnya para buruh atau tenaga kerja yang bekerja di daerah Menteng Jakarta Pusat, dengan hasil upah yang diterima selama bekerja para buruh tersebut mampu menyewa tempat tinggal atau perumahan yang sederhana yang tidak begitu jauh dari lokasi tempat bekerja.
d)     Zona 4 : Daerah pemukiman yang lebih baik
Daerah permukiman yang lebih baik misalnya daerah kompleks perumahan kelapa gading dimana daerah ini hanya ditempati oleh orang-orang yang berpenghasilan menengah keatas seperti para pengusaha yang memiliki beberapa saham di perusahaan yang ada di Jakarta, manajer, dan pegawai.
e). Zona 5 : Daerah para penglaju
Depok merupakan salah satu daerah penglaju di Jakarta, dimana daerah ini memiliki jumlah penduduk yang padat dan memiliki beragam jenis pekerjaan dan kwalitas tempat tinggal yang berbeda tergantung hasil pendapatan dari jenis pekerjaan yang dimiliki. Selain itu arus lalulintas juga padat sehingga sering terjadi kemacatan di jalan daerah Depok. Dengan jumlah penduduk yang padat kebanyakan masyarakat depok masuk kebagian pusat kota Jakarta untuk mengadu nasib mencari pekerjaan untuk menunjang perekomomian masyarakat Depok.

Daftar Pustaka:
http://jelekoke.blogspot.co.id/2014/03/teori-konsetris-dan-teori-sektor-dalam.html (diakes tanggal 01 Januari 2016)
http://dexnachicharito.blogspot.co.id/2012/01/teori-konsentrik-dan-penerapannya-di.html (diakes tanggal 01 Januari 2016)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

teori kutub pertumbuhan (growth pole)

Growth Pole Theory (Kutub Pertumbuhan) Teori ini dikembangkan oleh ahli ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun 1955. Inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi tertentu yang disebut kutub pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan growth pole (kutub pertumbuhan). Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata ruang ekonomi, dimana industri pendorong memiliki peranan awal dalam membangun sebuah pusat pertumbuhan. Industri pendorong ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut 1. Tingkat konsentrasi tinggi 2. Tingkat Teknologi Maju 3. Mendorong perkembangan industri di sekitarnya 4. Manajemen yang professional dan modern 5. sarana dan prasarana yang sudah lengkap Konsep Growth pole dapat didefinisikan secara geografis dan fungsional Secara geografis growth pole dapat digambar

Teori Livable City

Teori Livable City Livable City merupakan sebuah istilah yang menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dll). Beberapa definisi Livable City diantaranya : “The coin of livability has two faces : Livehood is one of them, ecological sustainability is the other” (P.Evans,ed 2002. Livable Cities ? Urban Struggles for Livelihood and Sustainability) “A Livable city is a city where I can have ahealthy life and where I have the chance for easy mobility… The liveable city is a city for all people” (D.Hahlweg,1997. The City as a Family) Beberapa institusi telah mengadakan beberapa penilaian mengenai Livable City ini, diantaranya adalah : a.    Americas Most Livable Communities , yang menilai tingkat kenyamanan hidu