Kota Kompak
Terdapat banyak definisi dari kota kompak. Burton (2000) dalam
tulisannya menyatakan pendekatan kota kompak adalah meningkatkan
kawasan terbangun dan kepadatan penduduk permukiman, mengintensifkan
aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan memanipulasi ukuran
kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman.
Pada
awal tahun 1900, Uni Eropa telah mengembangkan model kota kompak
sebagai bentuk kota yang paling berkelanjutan. Keunggulan dari kota
kompak yaitu pertama, menghemat sumberdaya dan energi (lahan,
transportasi, polusi, sampah), yang kedua pengkonsentrasian kegiatan di
pusat kota untuk menghindari munculnya kota satelit di sekitar pusat
kota. Jelas mengapa negara-negara maju seperti Uni Eropa sudah begitu
memprioritaskan kepada penghematan energi, perubahan sistem
transportasi, dll. Karena di negara maju, biaya bukanlah menjadi
kendala. Maka model kota kompak mudah untuk diwujudkan.
Roychansyah
(2005) menyebutkan 6 faktor penting sebagai atribut kota kompak yaitu:
pemadatan populasi, pengkonsentrasian kegiatan, intensifikasi
transportasi publik, ukuran optimal kota, kesejahteraan sosial-ekonomi
dan proses menuju kota kompak.
Keenam
atribut tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Jika ada salah satu komponen tidak memenuhi syarat maka suatu kota belum
bisa dikatakan sebagai kota kompak.
Ciri kota kompak menurut Dantzig & Saaty (1978) paling tidak dapat dilihat dari 3 aspek yaitu bentuk ruang, karakteristik ruang, dan fungsinya.
Menurut
Eko Budiharjo prinsip-prinsip kota hijau yaitu pertama, tata guna lahan
yang menghargai alam, menjaga badan air, topografi dan ruang terbuka.
Kedua, orientasi pada pejalan kaki (pedestrian) dengan pola lingkungan
swasembada sehingga warga kota dapat berbelanja, berekreasi, bersekolah,
bersosialisasi dengan berjalan kaki saja. Ketiga, pendayagunaan system
transportasi umum terpadu dilandasi prinsip Transit Oriented
Development, dengan menempatkan kawasan permukiman, perkantoran,
perdagangan, dekat stasiun atau simpul transportasi. Keempat,
memanfaatkan berbagai metode untuk memperlambat laju kendaraan agar
jalan raya menjadi lebih aman dan nyaman, lazim disebut dengan traffic
calming. Kelima, intensifikasi penggunaan lahan agar kota menjadi
kompak, dengan prinsip pusat-pusat jamak, polisentris, atau multicenter.
Sebenarnya
kota kompak merupakan konsep tradisional bagi negara-negara Eropa yang
sudah diterapkan sejak abad pertengahan (wall cities). Indikasi umumnya
yaitu pembangunan yang intensif, terdapat pemisah antara lahan terbangun
dengan non-terbangun seperti benteng yang diterapkan pada zaman dahulu
namun sekarang digunakan green buffer atau sejenisnya, lalu
ukuran kota yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Dibalik kelebihan
yang tertera diatas ada beberapa kelemahan dari kota kompak seperti:
upaya pengurangan pergerakan horisontal justru meningkatkan pergerakan
vertikal seperti lift, eskalator yang tidak hemat energi; suhu panas
yang ditimbulkan gedung-gedung tinggi; daya dukung lingkungan yang
menampung beban berat akibat kepadatan yang dipaksakan; dll.
contoh kota kompak :
Kota Paris
kota paris amat strategis ditandai oleh kota bersilang jalan-jalan raya dari Eropa Utara yang menuju ke Spanyol dari selat kanal menuju ke laut tengah. Kota Paris memiliki keuntungan yakni adanya lembah-lembah sungai yang memudahkan perhubungan dari ibukota Perancis dengan wilayah-wilayah tepi Negara Jerman dan Swiss. Jika pada zaman kuno persilangan jalan berarti lalu lintas dan transport darat dan sungai serta terusan sejak abad ke-19 dilengkapi jalan kereta api dan jalan untuk mobil cepat.
Perkembangan Kota Paris
Pada tahun 53 sebelum JC, kota Paris disebut Lutetia dan penduduknya disebut parisii. Saat itu luas Paris hanya sebesar ile de la Cité. Sejak jaman kerajaan Constance Chlore, kota Paris berkembang ke bagian kiri (la rive gauche) sungai Seine. Awalnya kota Paris terbentuk untuk melindungi istana kerajaan yang ditempati Julien yang dinobatkan oleh pasukannya sebagai peguasa pada tahun 358. Bagian utara dan selatan kota Paris terdapat desa yang diproteksi oleh biara. Desa dan biara tersebut selalu dirusak oleh bangsa Normandi. Pada tahun 885 – 886, bangsa Normandi berkemah di depan kota Paris dan tinggal selama 13 bulan. Hal ini menandakan sebuah periode khusus dan cemerlang bagi sebuah kota yang mulai berkembang di bagian kanan (la rive droite) sungai Seine.
Pada tahun 497, Paris mulai membuka pintu untuk masuknya warga Prancis dari daerah lain dan perkampungan di bagian kanan sungai Seine dijadikan bagian dari kota Paris. Sejak itu, kota Paris berkembang dan bertambah luas meskipun penguasa kota Paris telah diganti, penerusnya tetap melanjutkan pembangunan kota Paris.
Namun pembangunan kota Paris sempat terhenti oleh perang eropa dan krisis setelah perang yang telah menghancurkan benteng-benteng pertahanan kota Paris.
Berawal dari tempat tersebutlah, Paris melanjutkan pembangunannya dengan bebas ke segala arah dan membentuk daerah pinggiran dengan cepat. Kota Paris membentang sampai Lilas dan Drancy. Bourg-la-Reine, Antony, Sceaux akhirnya menjadi bagian kota Paris. Sebuah jalur lurus yang ramai menghubungkan place de la Concorde dan Saint-Germain.
Kota Kompak dan Negara Maju
Kota-kota
di Jepang sudah mulai menerapkan kota kompak contohnya Osaka dan Kyoto
dimana keberadaan ruang terbuka sulit ditemui karena pemanfaatan yang
intensif. Bentang lahan Jepang berupa perbukitan dan pegunungan, maka
kota yang berada pada topografi datar yang sedikit jumlahnya begitu
diintensifkan dan perbukitan digunakan sebagai area konservasi. Hal ini
yang dimaksudkan bahwa kota didedikasikan sebagai pusat budidaya manusia
agar tidak mengorbankan kelestarian alam. Untuk transportasi Jepang
telah memiliki sistem subway yang berlapis-lapis di bawah tanah.
Di
Australia dikenal istilah “konsolidasi” sebagai proses dari
intensifikasi kota yang telah ada sejak lama. Keadaan kota-kota di
Australia sangat sprawl karena terkendala dengan bentang alam. Namun
seperti di Sydney dan Melboure telah memiliki karakteristik walking-city seperti negara-negara di Eropa.
Di
Amerika, istilah kota kompak jarang digunakan. Kota-kota di Amerika
Utara menjadi kota-kota yang paling tersebar di dunia. Seperti
Washington, Detroit, Denver, atau San Franscisco mempunyai kepadatan
penduduk rata-rata hanya 14 penduduk per hektar (Newman 1989). Di
bandingkan dengan negara-negara di Eropa yang mempunyai kepadatan 50
penduduk per hektar. Di Amerika lebih dikenal dengan istilah Smart growth sebagai upaya kota berkelanjutan.
Kota Kompak dan Negara Berkembang
Lain
halnya dengan negara-negara berkembang dimana masalah yang cukup
kompleks belum lepas dari fokus pemerintah. Alih-alih ingin mencapai
keberlanjutan dengan membuat kota kompak, namun kondisi sangat tidak
memungkinkan. Tiga kendala yang menghalang negara berkembang untuk
mewujudkan kota kompak adalah jumlah penduduk yang meningkat pesat
dimana seharusnya syarat kondisi untuk membentuk kota kompak yaitu
dengan pertumbuhan penduduk yang lambat karena pembangunan akan
terhambat jika pertumbuhan penduduk meningkat pesat.
Perwujudan
kota kompak bukanlah tahap demi tahap namun suatu kota dikatakan kompak
sampai seluruh komponen dipenuhi dan itu akan membutuhkan biaya yang
sangat besar. Ketiga, perlunya kepemimpinan yang kuat untuk implementasi
kebijakan. Karena pembangunan dilakukan untuk kebaikan masyarakat dan
masyarakatpun harus ikut mendukung terhadap pembangunan. Hal ini yang
masih sulit untuk dilakukan di negara berkembang dimana masyarakatnya
belum menemukan kesadaran seperti kesadaran penghematan listrik,
pengolahan sampah, dll. Butuh pendampingan yang kuat dari pemimpin. Kota
kompak sepertinya cocok diaplikasikan di negara-negara maju namun
mungkin sulit untuk negara-negara berkembang.
Kota mega di negara-negara berkembang merupakan contoh ekstrim dari urban sprawl
yang secara fisik sudah kompak namun belum berkelanjutan. Gedung-gedung
hunian bertingkat sangat kontras keberadaannya dengan permukiman kumuh
yang letaknya berdekatan. Ditambah lagi moda transportasi yang buruk
serta kemacetan lalu lintas. Konsep keberlanjutan pada kota mega di
negara berkembang sulit diwujudkan terkendala oleh kompleksitas masalah
yang ada.
Formasi
kota mega tidak terbentuk hanya dalam satu tahap saja melainkan
terbentuk dengan proses awal konsentrasi penduduk, lalu pengembangan
inti kota yang kecil menjadi semakin besar. Kota mega sangat mudah
terbentuk di negara-negara berkembang. Lalu pola kota seperti apa yang
mampu menyelamatkan kota agar mencapai keberlanjutan?
Terdapat
banyak macam pola kota seperti: struktur inti pusat, struktur bintang,
struktur satelit, struktur galaksi, struktur linear dan strukur multi
kutub. Mana pola kota yang paling berkelanjutan? Pola apa yang paling
sedikit mengkonsumsi energi dan sedikit pula menghasilkan buangan?
Konsumsi energi dan emisi dapat diukur dari footprint kota seperti perjalanan ke tempat kerja, sekolah, layanan publik, perbelanjaan, dan perjalanan distribusi.
Rumus
untuk menghitung pola apa yang paling berkelanjutan yaitu menggunakan
variabel seperti populasi, total produksi, tingkat lingkungan hidup,
tingkat konsumsi sumberdaya dan kualitas hidup maka akan didapatkan
angka efisiensinya.
Sejarah Kota Kompak di Indonesia
Sejarah
memperlihatkan bahwa model kota kompak pun telah ada di Indonesia sejak
ratusan tahun yang lalu. Pada jaman kerajaan-kerajaan di Jawa, pola
ruang wilayah kerajaan sudah bisa dikatakan kompak. Adanya pemusatan
kegiatan, batas wilayah yang jelas (benteng), kepadatan penduduk, fungsi
campuran, dll. Dimana area di dalam benteng dikhususkan bagi keluarga
kerajaan dan abdi dalem. Pola-pola seperti ini tidak jauh berbeda dari
pola ruang negara Eropa pada abad pertengahan yang juga menganut sistim
kerajaan. Pola kerajaan seperti itu berulang di beberapa tempat di pulau
Jawa seperti di Yogyakarta, Kotagede, Solo, Cirebon, dll. Pola yang
khas yaitu benteng sebagai pemisah, terdapat alun-alun, lalu pusat
kegiatan yang mencakup pasar, tempat ibadah, pusat pemerintahan, dll.
Kalau
melihat seluruh kompleks Keraton Yogyakarta, maka akan jelas terlihat
bahwa semua bagian di dalamnya membentuk suatu pola/tatanan yang
konsentris. Dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangat dominan,
sebagai penjaga kestabilan keseluruhan tatanan.
Pada
keraton-keraton Dinasti Mataram, keberadaan pusat ini diwujudkan dalam
bentuk Bangsal Purbayeksa/ Prabuyasa, yang berfungsi sebagai
persemayaman pusat kerajaan dan tempat tinggal resmi raja. Bangsal ini
dikelilingi oleh pelataran Kedaton, kemudian berturut-turut adalah
pelataran Kemagangan, Kemandungan, Siti Hinggil, dan Alun-Alun pada
lingkup terluar.
Penerapan Kota Kompak di Indonesia
Sangat
terlihat bahwa Indonesia masih jauh dari pengembangan ide kota kompak
karena fokus pemerintah masih kepada penanggulangan masalah-masalah
kemiskinan. Menerapkan model kota kompak di negara-negara berkembang
khususnya Indonesia terlihat tidak akan sederhana. melihat kondisi
eksisting dan berbagai permasalahan yang kompleks, perlu dilakukan riset
dan kajian lebih lanjut apakah pantas kota kompak dikembangkan di
Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, model kota kompak
bukanlah tahap demi tahap namun suatu kota dikatakan kompak sampai
seluruh komponen dipenuhi dan itu akan membutuhkan biaya yang sangat
besar. Hal lain yang menghambat yaitu karakteristik sosial-budaya
masyarakat Indonesia yang belum tentu cocok dengan penerapan ide kota
kompak. Identitas daerah dan kekhasan tempat menjadi keharusan untuk
dipertahankan.
Kota
Jakarta secara fisik dapat dikatakan kompak namun belum berkelanjutan.
Pembangunan secara horisontal membuat wilayah kegiatan budidaya manusia
semakin melebar dan meluas sehingga dikenal dengan istilah singkatan
Jabodetabekjur. Padahal dulunya hanya dikenal Jakarta saja atau
Jabotabek. Perluasan ini dinilai sangat tidak efisien, sangat boros
energi dan menimbulkan emisi yang sangat besar. Keadaan transportasi
publik yang tidak memadai menimbulkan masalah kemacetan.
Kebijakan kota
kompak di Indonesia seharusnya diaplikasikan sebagai strategi
pembangunan kota untuk mengendalikan perluasan (pengembangan) kota
akibat cepatnya laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan kota kompak di
Indonesia sebaiknya lebih ditekankan pencapaian kondisi keberlanjutan
pada: penyediaan infrastruktur yang efisien; keseimbangan aktivitas
perkotaan yang mempertimbangkan kolaborasi dengan daerah rural sekitar;
pertalian antara daerah perkotaan dan pedesaan; pencapaian kesetaraan /
keadilan sosial. Beberapa peluang dalam mewujudkan kota yang hemat energi dengan mengacu pada sustainable city
adalah memperbaiki dan membangun kota secara vertikal, sistem
transportasi massal, kota berinti ganda, tata bangunan dan lingkungan
hemat energi, dan ruang kota yang berorientasi pejalan kaki.
Hal
yang dapat dilakukan pemerintah saat ini seharusnya dimulai dari
kebijakan-kebijakan dalam hal transportasi dengan cara: penerapan road pricing system; pajak
perparkiran; pajak kendaraan pribadi, penyediaan moda transportasi
publik yang aman, nyaman, terjangkau; dll. Dalam hal lain seperti
penyediaan sarana dan prasarana bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda,
fungsi lahan/bangunan campuran, preservasi dan konservasi kelestarian
alam, konservasi bangunan-bangunan bersejarah, dll. Penerapan kebijakan
tersebut juga harus dilandasi hukum yang tegas.
Yang
tidak kalah penting yaitu pemerintah dalam mengambil pilihan atau
tindakan harus mengikutsertakan masyarakat. Hal ini penting dan dikenal
dengan Perencanaan Partisipatif.
Tujuan
dari perencanaan wilayah yaitu rasa damai, kesehatan, kesejahteraan,
dan kebahagiaan. Setiap kota adalah karya seni sosial yang mempunyai
jati diri dan keunikan. Munculnya arus globalisasi sangat mengancam
tatanan sosial-budaya. Perencana harus dapat menangkal pengaruh negatif
globalisasi dengan gerakan “glokalisasi” atau dengan perencanaan
partisipatif yang mendayagunakan benih-benih alternatif dari kearifan
lokal, budaya, sumberdaya dan keunikan lokal.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Kamar, Intan Demsi, 2005. Kota Dalam Lintasan Sejarah. Makassar : Yabuindo Press
Gayatri, Aulia Sabrina, 2011. Compact City Surga Atau Neraka Indonesia. http://assweetasdream.blogspot.co.id/2011/06/compact-city-surga-atau-neraka.html. Diakses pada 21 Desember 2015
https://maisyarahpradhitasari.wordpress.com/2011/07/21/kota-kompak/. Diakses pada 21 Desember 2015
Komentar
Posting Komentar