Langsung ke konten utama

Teori Livable City

Teori Livable City
Livable City merupakan sebuah istilah yang menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dll).

Beberapa definisi Livable City diantaranya :
“The coin of livability has two faces : Livehood is one of them, ecological sustainability is the other”
(P.Evans,ed 2002. Livable Cities ? Urban Struggles for Livelihood and Sustainability)

“A Livable city is a city where I can have ahealthy life and where I have the chance for easy mobility… The liveable city is a city for all people”
(D.Hahlweg,1997. The City as a Family)

Beberapa institusi telah mengadakan beberapa penilaian mengenai Livable City ini, diantaranya adalah :
a.   Americas Most Livable Communities, yang menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di Amerika Serikat.
b. Urban Construction Management Company, UCMC – IBRD (World Bank), yang menilai tingkat sustanabiliy kota-kota di dunia.
c.   International Center For Sustainable Cities, Vancouver Working Group Discussion, yang menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di Kanada.

Dari beberapa event penilaian mengenai Livable City, prinsip-prinsip dari Livable City diantaranya :
  1. Tersedianya berbagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan (hunian yang layak, air bersih, listrik)
  2. Tersedianya berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi publik, taman kota, fasilitas ibadah/kesehatan/ibadah)
  3. Tersedianya ruang dan tempat publik untuk bersosialisasi dan berinteraksi
  4. Keamanan, Bebas dari rasa takut
  5. Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya
  6. Sanitasi lingkungan dan keindahan lingkungan fisik.
Most Livable City Index merupakan sebuah indeks yang menunjukkan tingkat kenyamanan warga kota untuk tinggal, menetap dan beraktivitas di suatu kota yang ditinjau dari berbagai aspek kehidupan kota. Dari indeks tersebut dapat diketahui tingkat kenyamanan warga kota terhadap kualitas kota tersebut. Dengan dilakukan dibeberapa kota, maka dapat diketahui tingkat kenyamanan tinggal di suatu kota.

Contoh:
Menilai perencanaan sebuah kota dapat dinilai dari bagaimana tingkat kenyamanan masyarakat yang mendiami kota tersebut, salah satunya adalah menggunakan kriteria livable city. Terdapat dua terminologi yang harus diketahui untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu livability dan livable city. Livability dapat didefinisikan secara sederhana sebagai “quality of life”, yaitu semua yang bersifat baik yang dirasakan oleh masyarakat selama mendiami kota tempat tinggalnya, baik secara personal maupun sebagai anggota dari masyarakat kota, sedangkan livable city adalah kota sebagai tempat hidup masyarakat yang dapat memenuhi rasa baik tersebut dan sedikit memiliki (bahkan melawan) hal buruk yang mengancam rasa nyaman masyarakatnya, baik secara fisik, sosial, dan mental. Livable city menggambarkan lingkungan dan sebuah kota yang nyaman untuk bertempat tinggal dan bekerja, dilihat dari berbagai aspek baik secara fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll.) maupun secara non-fisik (interaksi sosial, aktivitas ekonomi, dll.).
Kota bukanlah “benda mati” melainkan terus berkembang, sama seperti manusia, sehingga untuk melihat sebuah livable city dapat dianalogikan komponen-kompnen kota seperti manusia. Pertama, komponen pemerintahan dan partisipasi masyarakat, pengendalian, pembentukan, dan pembelajaran sebagai otak dan saraf yang menggerakkan perangkat / sistem kota. Kedua, komponen nilai-nilai dan identitas masyarakat dan fisik kota sebagai jantung yang menghidupkan kota. Ketiga, komponen komunitas yang beragam, sarana di pusat kota, kawasan industri, dan ruang terbuka hijau sebagai organ yang mengisi kelengkapan kota. Terakhir, komponen prasarana (air, jalur hijau, listrik, komunikasi, transportasi) sebagai sistem sirkulasi yang memperlancar keberjalanan seluruh sistem di kota. Sebuah livable city harus dapat menghidupkan keseluruhan komponen tersebut.
Dalam penerapannya di Indonesia, survei yang dilakukan IAP seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, telah terlebih dahulu menentukan kriteria berupa 9 aspek dan 25 indikator penilaian livable city dari 15 kota besar di Indonesia. Kriteria yang digunakan dalam survei tersebut didasarkan pada hasil Simposium Nasional : Masa Depan Kota Metropolitan Indonesia yang diadakan di Medan, 4 Desember 2008, dan dirumuskan melalui pendekatan : ”Snapshot, Simple and Actual”, sehingga diketahui bahwa rata-rata indeks kenyamanan kota-kota di Indonesia adalah 54,17% pada tahun 2009 dan 54,26% pada tahun 2011. Kota Yogyakarta seperti yang telah dikatakan sebelumnya, merupakan kota yang memiliki indeks kenyamanan tertinggi di Indonesia dengan persentase 65,34 % (2009) dan 66,52% (2011). Namun, angka total yang begitu kecil ini menunjukkan bahwa kota-kota di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal yang dirasa nyaman oleh masyarakat yang mendiaminya.
Mengapa Kota Yogyakarta dapat memiliki persepsi masyarakatnya yang nyaman terbanyak di Indonesia dibanding kota-kota lainnya? Berikut adalah aspek penilaian IAP Most Livable City Index yang dipergunakan serta interpretasi berdasarkan aspek tersebut di Yogyakarta, sementara indikator penilaiannya dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
HASIL SURVEI TIAP INDIKATOR IAP MOST LIVABLE CITY INDEX
DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2011

Sumber : IAP Most Livable City Index, 2012
 1. Aspek penataan kota : Aspek penatan kota dinilai berdasarkan kualitasnya dalam mendukung aktivitas kota. Kota Yogyakarta, pusat pemerintahan Kesultanan Nyayogyakarta Hadiningrat sebagai salah satu kota tradisional di Pulau Jawa dirancang berdasarkan Teori Kosmis dimana terdapat pusat kosmis dan seremonial yaitu kraton, alun-alun, dengan perangkat kotanya yang memiliki axis ke arah utara (Gunung Merapi) dan selatan (Pantai Selatan). Secara umum kota ini sudah dirancang dengan baik mempertimbangkan alam sekitarnya. Dalam perkembangannya, dengan adanya modernisasi, namun masyarakat tetap mempertahankan bentuk kota seperti itu karena merasa sakral dengan tradisi yang ada, sehingga sekitar 50% masyarakat merasa nyaman dengan kondisi tersebut.
 
2. Aspek fisik lingkungan : Perkembangan perkotaan membuat polusi dan pencemaran menjadi kelemahan dari Kota Yogyakarta, sama seperti kota-kota lainnya. Namun yang berbeda adalah, usaha menjaga kebersihan lingkungan dalam kota tersebut, yang tentu dipengaruhi oleh budaya yang kental di masyarakat membuat aspek ini memiliki nilai yang tinggi.
3. Aspek keamanan dan keselamatan : Hampir sama dengan kota-kota lainnya yang bukan merupakan kota metropolitan, Kota Yogyakarta masih memberikan kenyamanan atas keamanan dan keselamatan warganya karena masyarakat yang berbudaya dan perangkat yang bekerja dengan baik membuat tingkat kriminalitas yang tidak tinggi.
4. Aspek ekonomi : Karena masyarakatnya yang secara budaya tidak keras dan menuntut, sekalipun memiliki persepsi yang rendah pada ketersediaan lapangan pekerjaan (29%),  namun kota ini masih dinilai cukup secara aspek ekonomi karena diimbangi dengan persepsi masyarakat atas keterjangkauan tempat kerja dan biaya hidup.
5. Aspek sosial budaya : Interaksi sosial serta nilai sejarah dan budaya yang dijaga di Kota Yogyakarta membuat nilai aspek ini termasuk tertinggi dibanding kota-kota lainnya (73%). Budaya yang mendarah daging sebagai kearifan lokal, sistem pelayanan yang baik, serta keberadaan keraton sebagai institusi pimpinan budaya di Yogyakarta yang sangat dihormati oleh masyarakat membuat kota ini begitu nyaman secara sosial-budaya. Bahkan aset-aset budaya dan sejarah dapat dimanfaatkan sebagai lokasi wisata yang sangat menguntungkan dan nyaman. Tak hanya itu, tetapi juga ada kawasan wisata lain seperti wisata alam.
6. Aspek transportasi : Kondisi kuantitas infrastruktur transportasi di Yogyakarta sudahlah baik, khususnya setelah disediakan Trans Jogja yang melengkapi moda transportasi tradisional yang ada di Yogyakarta. Tingkat kemacetan di kota ini pun tidak tinggi.  Namun secara kualitas masih perlu diperbaiki karena masih kurang terjaga sehingga berpengaruh pada kenyamanan berkendara di Yogyakarta.

7. Aspek utilitas publik : Sama seperti kota-kota lainnya kualitas dan kuantitas utilitas publik di Yogyakarta terbilang sudah sangat baik. Pengelolaannya pun terbilang dan tidak ada kekurangan.
8. Aspek kesehatan : Keberadaan RS Dr. Sardjito, RS Bethesda, dan sarana-sarana kesehatan lain sangat mendukung nilai indeks aspek kesehatan di Yogyakarta. Sama seperti kota-kota lainnya di Pulau Jawa, fasilitas di Kota Yogyakarta juga terbilang baik dan mencukupi.
9. Aspek pendidikan : Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan pendidikan di Indonesia sejak dulu dengan keberadaan banyak perguruan tinggi yang salah satunya adalah Universitas Gajah Mada (UGM). Letaknya yang strategis menjadi tujuan perantauan dari daerah-daerah di Indonesia bagian Barat hingga Indonesia bagian Timur, bahkan mendapatkan sebutan sebagai Kota Pelajar. Biaya pendidikan pun tidak tinggi dan terjangkau untuk seluruh kalangan. Hal ini membuat indeks aspek pendidikan kota Yogyakarta menjadi yang tertinggi di Indonesia (98%).

Mempertahankan Livability di Yogyakarta
Sekalipun menjadi kota dengan persepsi masyarakat akan kenyamanan kotanya yang tertinggi di Indonesia berdasarkan survei IAP, Kota Yogyakarta masih memiliki beberapa kekurangan yang memerlukan pengembangan untuk mendukungnya sebagai livable city. Seperti yang sudah disebutkan, kualitas infrastruktur meliputi sarana-prasarana transportasi dan utilitas umum lainnya perlu diperbaiki untuk mengoptimalkan fungsi kota bagi masyarakatnya. “Benturan” antara teknologi / budaya modern dengan budaya lokal juga perlu diperhatikan, seperti pengaruh jangka panjang dan pengelolaan bus Trans Jogja yang perlu dioptimalkan.
Kunci dari suksesnya Yogyakarta dalam membentuk suatu livable city bagi masyarakat yang mendiaminya dan juga para pendatang yang berkunjung adalah budaya. Budaya yang ditanamkan sejak lama dan mengakar dalam keseharian masyarakat dapat menjadi aliran yang baik untuk mendukung keberjalanan urat nadi Kota Yogyakarta. Bagaimana Kota Yogyakarta dapat mempertahankan daya livable city dari seluruh komponen kotanya? Lebih lanjut lagi, juga menjadi sustainable city / kota yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan, tentu perlu didukung oleh semua pihak, terutama kepemimpinan  daerah yang baik dan dukungan masyarakat. Hal yang sama seperti yang dikatakan Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak bahwa begitu penting peranan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota, serta masyarakat yang mendiaminya untuk bersama-sama mewujudkan masa depan perkotaan Indonesia yang layak huni / livable city, termasuk di Kota Yogyakarta. Yah, semoga Kota Yogyakarta masih dapat mempertahankan kelestarian budayanya, meningkatkan kualitasnya, dan tetap menjadi salah satu livable city agar dapat menjadi contoh kota berwawasan budaya yang nyaman di Indonesia.

Daftar Pustaka
https://gabrielefodvirant.wordpress.com/2013/01/06/yogyakarta-kota-nyaman-yang-mengedepankan-kelestarian-budaya-tradisional-indonesia-2/ (diakses tanggal 28 Desember 2015)
http://danimuttaqin.blogspot.co.id/2014/08/indonesia-most-livable-city-index.html (diakses tanggal 28 Desember 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

teori kutub pertumbuhan (growth pole)

Growth Pole Theory (Kutub Pertumbuhan) Teori ini dikembangkan oleh ahli ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun 1955. Inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi tertentu yang disebut kutub pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan growth pole (kutub pertumbuhan). Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata ruang ekonomi, dimana industri pendorong memiliki peranan awal dalam membangun sebuah pusat pertumbuhan. Industri pendorong ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut 1. Tingkat konsentrasi tinggi 2. Tingkat Teknologi Maju 3. Mendorong perkembangan industri di sekitarnya 4. Manajemen yang professional dan modern 5. sarana dan prasarana yang sudah lengkap Konsep Growth pole dapat didefinisikan secara geografis dan fungsional Secara geografis growth pole dapat digambar

Teori Konsentris

Teori Konsentris Kota dianggap sebagai suatu obyek studi dimana di dalamnya terdapat masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami proses interrelasi antarmanusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Hasil dari hubungan itu mengakibatkan terciptanya pola keteraturan dari penggunaan lahan. E.W. Burgess (1925), merupakan orang yang pertama kali menuangkan pengamatannya ini. Menurutnya, kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian rupa dan menunjukan pola penggunaan lahan yang konsentris dimana masing-masing jenis penggunaan lahan ini dianalogikan sebagi suatu konsep “natural area” . Dari pengamatannya, suatu kota akan terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini sekaligus mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda. Dari hal ini, kemudian menyebabkan Burgess terkenal dengan teori konsentrisnnya ( Concentric Theory ).                                   Gambar 1. Model Zone Konsentris Burges Seperti terlihat pada model diatas, daera